Rabu, 19 November 2014

KONSEP DASAR GENDER DALAM KESEHATAN REPRODUKSI

PAPER
Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah
Dasar Kesehatan Reproduksi





Oleh :
Alphyyanto Eko Sutrisno
G1B011079
Yuli Avitasari Indriana
G1B012014
Setyaningrum Adi Kusuma
G1B013041
Annisa Nursalamah Laksono
G1B013075


JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014

BAB I
PENDAHULUAN


Isu ketidaksetaraan gender telah menjadi pembicaraan di berbagai negara sejak tahun 1979 dengan diselenggarakannya konferensi perserikatan bangsa-bangsa dengan tema The Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yang membahas tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita.
Di Indonesia secara normatif diskriminasi terhadap wanita telah dihapuskan berdasarkan hasil CEDAW yang telah diratifikasi dengan Undang-Undangn Nomor 7 tahun 1984(2). Namun dalam kenyataannya masih tampak adanya nilai-nilai budaya masyarakat yang bersifat diskriminatif, sehingga menghambat terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender termasuk dalam bidang kesehatan. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat dicermati dari analisis-analisis terhadap kondisi dan posisi wanita yang kerap dirugikan pihak pria. Dalam paper ini, kami mengangkat kasus rendahnya partisipasi pria dalam penggunaan KB mewujudkan ketidakadilan gender.
  


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.            PENGERTIAN GENDER
Gender merupakan peran sosial dimana peran pria dan wanita ditentukan  perbedaan fungsi,   perandan tanggung jawab pria dan wanita sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah atau diubah sesuai perubahan zaman.Peran dan kedudukan sesorang yang dikonstrusikan oleh masyarakatdan budayanya karena sesorang lahir sebagai pria atau wanita(WHO 1998) .
Dikenal ada tiga jenis peran gendersebagai berikut. :
1.   Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sektor publik.
2.     Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatann yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan lain-lain. Peran reproduktif ini disebut juga peran di sektor domestik.
3.    Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama.



B.            PERBEDAAN GENDER DAN JENIS KELAMIN
Menurut Badan Pemberdayaan Masyarakat, perbedaan antara Gender dengan Kenis Kelamin adalah:
No.
Gender
Jenis Kelamin
1.
Dapat berubah, contohnya peran dalam kegiatan sehari-hari, seperti banyak wanita jadi juru masak jika dirumah, tetapi jika di restoran
Tidak dapat berubah, contohnya alat kelamin pria dan wanita
2.
Dapat di pertukarkan
Tidak dapat dipertukarkan, contohnya jakun pada pria dan payudara pada wanita
3.
Tergantung budaya dan kebiasaa, contohnya  di pulau jawa, pada jaman penjajahan belanda kaum wanita tidak memperoleh hak pendidikan. Setelah Indonesia merdeka wanita mempunyai kebiasaan mengikuti pendidikan
Berlaku sepanjang masa, contohnya status pembagian pria atau perempaun
4.
Tergantung budaya setempat, contohnya pembatasan kesempatan di bidang pekerjaan terhadap wanita dikarenakan budaya setempat antara lain diutamakan untuk menjadi perewat, guru TK, pengasuh anak.
Berlaku diman saja, contohnya di rumah, dikantor dan dimanapun berada, seorang pria atau wanita tetap pria dan wanita
5.
Bukan merupakan budaya setempat, contohnya pengaturan jumlah anak dalam satu keluarga
Merupakan kodrat Tuhan, contohnya pria mempunyai ciri-ciri utama yang berbeda dengan cirri-ciri utama wanita, misalnya jakun dan vagiana
6.
Buatan manusia, contohnya pria dan wanita berhak menjadi calon ketua RT,RW dan kepala desa bahkan presiden.
Ciptaan Tuhan, contohnya wanita bisa haid , hamil, melahirkan dan menyusui sedangkan pria tidak.


C.            BENTUK   KETIDAK ADILAN GENDER
Ketidakadilan gender adalah adanya perbedaan, pengecualian atau pembatasan yang di buat berdasarkan peran dan norma gender  yang dikonstruksi secara sosial yang mencegah seseorang untuk menikmati HAM secara penuh.
Bentuk-bentuk diskriminasi Gender adalah:
1.       Marjinalisasi
Proses peminggiran atau penyisihan yang mengakibatkan wanita dalam keterpurukan. Bermacam  pekerjaan  membutuhkan keterampilan pria yang banyak memakai tenaga sehingga wanita tersisihkan. Atau sebaliknya beberapa pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, ketekuanan sehingga peluang kerja bagi pria tidak ada. Contohnya: direktur banyak oleh pria, baby sister adalah wanita.

2.       Sub Ordinasi
Kedudukan salah satu jenis  kelamin di anggap lebih penting dari pada jenis kelamin sebaliknya. Contohnya: persyaratan melanjutkan studi untuk istri harus ada izin suami, dalam kepanitiaan wanita paling tinggi pada jabatan sekretaris.

3.       Pandangan Stereotipe
Pandangan stereotype adalah penandaan atau cap yang sering bermakna negatif. Contohnya: pekerjaan di rumah seperti mencuci diidentikkan dengan pekerjaan wanita; pria sebagai pencari nafkah yang utama, harus diperlakukan paling ismewah di dalam rumah tangga, misalnya yang berkaitan dengan makan.

4.       Kekerasan
Segala bentuk kekerasan terhadap wanita yang akibatnya dapat berupa kerusakan/penderitaan fisik, seksual atau psikis termasuk ancaman seperti pemaksaan/perampasan atas kemerdekaan, baik di tempat umum, dalam rumah tangga maupun yang dilakukan oleh negara. COntohnya: suami membakar dan memukul istri, istri merendahkan martabat suami di hadapan masyarakat.

5.       Beban Kerja
Beban kerja yang dilakukan oleh jenis kelamin tertentu lebih banyak. Bagi wanita di rumah mempunyai beban kerja lebih besar dari pada pria, 90% pekerjaan domestic/rumah dilakukan oleh wanita belum lagi jika di jumlahkan dengan bekerja diluar rumah.


D.        BUDAYA YANG BERPENGARUH TERHADAP GENDER
1.    Sebagian besar masyarakat banyak di anut kepercyaan yang salah tentang apa arti menjadi seorang wanita, dengan akibat yang berbahaya bagi kesehatan wanita.
2.     Setiap masyarakat mengharapkan pria dan wanita untuk berpikir, berperasaan, dan bertindak dengan pola-pola tertentu, dengan alasan hanya karena mereka dilahirkan sebagai wanita atau pria, contohnya wanita diharapkan untuk menyipkan masakan, membawa air dan kayu bakar, merawat anak-anak dan suami, sedangkan pria diharapkan untuk bekerja diluar rumah untuk memberikan kesejahteraan bagi keluarga di masa tua dan untuk melindungi keluaraga dari ancaman (bahaya).
3.     Gender yang di hubungkan dengan jenis kelaminnya tersebut, semuanya adalah hasil rekayasa masyarakat.
4.   Kegiatan lain tidak sama dari satu daerah kedaerah lain di seluruh dunia, tergantung pada kebiasaan, hokum dan agama yang dianut oleh masyarakat tersebut.
5.   Peran jenis kelamin bahkan tidak sama didalam suatu masyarakat, tergantung pada tingkat pendidikan, suku dan umurnya.
6.      Peran gender di ajarkan secara turun temurun dari orang tua ke anak-anaknya. Sejak anak-anak berusia sangat muda, orang tua tua memperlakukan anak wanita dan pria secara berbeda, meskipun kadang-kadang tampa mereka sadari.



E.               ISU GENDER DALAM KESEHATAN REPRODUKSI
Isu gender adalah suatu kondisi yang menunjukan kesenjangan pria dan wanita yaitu adanya kesenjangan antara kondisi yang dicita-citakan (normative) dengan kondisi sebagaimana adanya (objektif).
1.       Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (Safe motherhood)
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender sebagai berikut:
a.       Ketidakmampuan wanita dalam mengambil keputusan dalam kaitannya dengan kesehatan dirinya, misalnya dalam menentukan kapan hamil, dimana akan melahirkan dan sebagainya. Hal ini berhubungan dengan wanita yang kedudukannya yang lemah dan rendah di keluarga dan masyarakat.
b.   Sikap dan perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan pria, contohnya dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari yang menempatkan bapak atau pria pada posisi yang diutamakan dari pada ibu dan anak wanita. Hal ini sangat merugikan kesehatan wanita, terutama bila sedang hamil.
2.       Keluarga Berencana
Hal-hal yang sering di anggap sebagai isu gender sebagai berikut:
a.   Kesertaan ber-KB, dari data SDKI tahun 1997 presentase kesertaan ber-KB, diketahui bahwa 98% akseptor KB adalah wanita.partisipasi pria hanya 1,3%. Ini nerarti bahwa dalam program KB wanita selalu objek/target sasaran.
b.      Wanita tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan metode kontrasepsi yang diinginkan, antara lain karena ketergantungan kepada keputusan suami (pria lebih dominan), informasi yang kurang lengkap dari petugas kesehatan, penyediaan alat dan obat kontrasepsi yang tidak memadai di tempat palayanan.
c.     Pengambilan keputusan  partisipasi kaum pria dalam program KB sangat kecil dan kurang, namun control terhadap wanita dalam hal memutuskan untuk ber-KB sangat dominan.
3.       Kesehatan Reproduksi Remaja
Hal-hal yang sering di anggap sebagai isu gender sebagai berikut:
a.     Ketidak adilan dalam mengambil tanggung jawab misalnya pada pergaulan yang terlalu bebas, remajaputeri selalu menjadi korban dan menangguang segala akibatnya (misalnya kehamilan yang tidak dikehendaki, putus sekolah, kekerasan terhadap wanita, dan sebagainya).
b.      Ketidak-adilan dalam aspek hokum, misalnya dalam tindakan aborsi illegal, yang diancam oleh sanksi dan hukuman adalah wanita yang menginginkan tindakan aborsi tersebut, sedangkan pria  yang menyebabkan kehamilan tidak tersentuh oleh hukum. 
4.       Infeksi Menular Seksual
Hal yang sering dianggap sebagai isu gender sebagai berikut:
a.     Wanita selalu dijadikan objek intervensi dalam program pemberantasan IMS, walaupun pria sebagai konsumen justru member konstribusi yang cuku besar dalam permasalahan tersebut.
b.      Setiap upaya mengurangi praktek prostitusi,kaum wanita sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi objek dan tudingan sumber permasalahan, sementara kaum pria yang mungkin menjadi sumber penularan tidak pernah di intervensi dan dikoreksi.
c.       Wanita (istri) tidak kuasa menawarkan kondom jika suami terserang IMS.



BAB III
PEMBAHASAN

Perbedaan wanita dan pria masih menyimpan beberapa masalah dalam masyarakat. Perbedaan anatomi antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan tersebut menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender.
Dalam program KB nasional seharusnya penggunaan kontrasepsi merupakan tanggung jawab bersama pria dan wanita sebagai pasangan, sehingga metode kontrasepsi yang dipilih mencerminkan kebutuhan serta keinginan suami istri. Pasangan suami istri harus saling mendukung dalam pemilihan dan penggunaan  metode kontrasepsi karena kesehatan reproduksi, khususnya keluarga berencana bukan hanya urusan pria atau wanita saja.
Jenis kelamin pria dan wanita masing-masing mempunyai keterbatasan reproduksi yang biasa disebut kodrat. Pria sebagai penghasil sperma dan wanita sebagai tempat mengandungnya janin. Pandangan sterotipe ini telah membentuk pendapat bahwa sebenarnya wanita dan pria mempunyai akses yang sama terhadap peluang terjadinya kehamilan. Tetapi, pemikiran tersebut terus berkembang di masyarakat sehingga terdapat ketimpangan hubungan gender yaitu wanita yang seharusnya memakai alat kontrasepsi.
Dari segi budaya di Indonesia, masyarakat mengikuti budaya patriarki atau mengikuti garis keturunan ayah. Budaya patriarkhi yang melekat di masyarakat menjadikan informasi yang dibawa istri sangat rawan ditolak oleh suami. Padahal wanita sendiri dianggap kurang mampu meneruskan informasi,  Sehingga sampai saat ini penyampaian informasi tentang alat kontrasepsi dan keluarga berencana masih kurang efektif. Akhirnya, tingkat pengetahuan pria tentang alat kontrasepsi pun masih kurang. Tingginya dominasi suami dalam pengambilan keputusan perencanaan jumlah dan jarak kelahiran anak juga ikut mempengaruhi rendahnya kesertaan pria dalam ber-KB.
Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukan kenaikan angka partisipasi pria dalam mengikuti program KB hanya naik 0,2% per tahunnya. Dilihat dari angka pencapaian peningkatan partisipasi pria pada tahun 1991 sebesar 0,8% (SDKI 1991). Pada tahun 2003 sebesar 1,3 % (SDKI 2002-2003), sedangkan pada tahun 2007 sebesar 1,5 % (SDKI 2007).
Jika dibandingkan dengan pencapaian angka partisipasi pria ber-KB di negaraberkembang seperti di Pakistan sebanyak 5,2%; Bangladesh sebanyak 13,9%, Nepal sebanyak 24%, Malaysia sebanyak 16,8%  dan Jepang sebanyak 80% maka Indonesia masih menjadi negara yang paling rendah tingkat partisipasi pria dalam ber-KB.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan mengapa partisipasi pria di Indonesia sangat rendah.  Diantaranya karena keterbatasan pengetahuan suami tentang kesehatan reproduksi serta pandangan budaya di Indonesia dimana peran pria lebih besar daripada wanita.  Selain itu, pola pikir masyarakat bahwa penggunaan alat kontrasepsi itu adalah urusan wanita. Alasan lain juga adalah terbatasnya alat kontrasepsi untuk pria.
Sampai saat ini alat kontrasepsi yang tersedia untuk pria hanyalah kondom dan vesektomi, atau dengan kontrasepsi paling sederhana yaitu dengan cara menarik penis sebelum terjadinya ejakulasi saat berhubungan badan dengan istri.
Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi pria untuk tidak melakukan KB secara langsung yaitu:
1.             Faktor predisposisi
Rendahnya partisipasi pria menjadi peserta KB disebabkan karena terbatasnya macam dan jenis alat kontrasepsi pria serta kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang hak-hak kesehatan reproduksi, kurangnya komunikasi sejak dini banyak  mempengaruhi sudut pandang yang keliru tentang seks dan keperkasaan pria, banyak pria yang beranggapan bahwa pemakaian alat kontrasepsi oleh pria akan mengganggu kenikmatan dalam  hubungan seksual, anggapan  yang salah tentang peranan kaum pria dan kedudukan  pria dalam keluarga membuat pria jarang yang mau berkonsultasi mengenai masalah reproduksi , seks, serta tingkah laku seksualnya. Adanya persepsi bahwa wanita yang menjadi target program KB, kondisi sosial budaya masyarakat yang patrilinial yang memungkinkan kaum wanita berada dalam sub ordinasi menyebabkan pengambilan keputusan dalam KB didominasi oleh kaum pria dan kondisi budaya juga menjadi salah satu kendala dalam meningkatkan peran serta para suami dalam ber-KB, ada anggapan  bahwa anak pria merupakan penerus marga, hingga sebelum ada anak pria, keluarga akan terus “berproduksi”.

2.             Faktor pemungkin
Partisipasi pria yang rendah dalam melaksanakan KB dikarenakan  aksesibilitas pria terhadap sarana pelayanan kontrasepsi rendah, dimana Puskesmas hanya menyediakan pelayanan KIA yang umumnya melayani Ibu dan Anak saja sehingga pria merasa enggan untuk konsultasi dan mendapat pelayanan, demikian pula terbatasnya jumlah sarana pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pria. Selain itu ada beberapa keterjangkauan yang masih terbatas yang dimaksudkan agar  pria dapat memperoleh  informasi yang memadai dan pelayanan KB yang memuaskan masih rendah.

3.             Faktor penguat
Faktor penguat adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak. Sumber penguat tentu saja tergantung pada tujuan dan jenis program. Di dalam pendidikan pasien, penguat mungkin berasal dari perawat, dokter, pasien lain, dan keluarga. Apakah penguat ini positif ataukah negatif bergantung pada sikap dan perilaku orang lain yang berkaitan, yang sebagian diantaranya lebih kuat daripada yang lain dalam mempengaruhi perilaku.
Partisipasi pria diperlukan dalam penerapan program KB khususnya dalam penggunaan alat kontrasepsi, sehingga keberhasilan program KB tidak hanya ditentukan oleh wanita tetapi jugaoleh pria sebagai anggota dalam sebuah keluarga yang berkewajiban untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera.
Bentuk partisipasi pria dalam keluarga berencana dibagi menjadi dua,yaitu secara langsung maupun tidak langsung.

1.             Secara Langsung
Partisipasi pria secara langsung adalah pria sebagai peserta dengan menggunakan salah satu cara atau metode kontrasepsi, seperti dengan menggunakan alat kontrasepsi kondom, vasektomi, metode senggama terputus, dan metode pantang berkala / sitem kalender.

2.             Tidak Langsung
Partisipasi pria secara tidak langsung adalah dengan mendukung setiap kegiatan KB dan juga sebagai motivator sesuai dengan pengetahuan tentang KB yang dimilikinya. Peran suami adalah mendukung dan memberikan  kebebasan kepada istri untuk menggunakan kontrasepsi atau metode KB.
Dukungan tersebut meliputi:
a.              Memilih kontrasepsi yang cocok yaitu kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan dan kondisi istrinya
b.      Membantu istrinya dalam menggunakan kontrasepsi secara benar,seperti mengingatkan saat  minum pil KB, dan mengingatkan istri untuk kontrol 
c.       Membantu mencari pertolongan bila terjadi efek samping maupunkomplikasi dari pemakaian alat kontrasepsi
d.              Mengantarkan istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk kontrol atau rujukan
e.              Mencari alternatif lain bila kontrasepsi yang digunakan tidak cocok
f.               Membantu  menghitung  waktu subur, apabila menggunakan metode pantang berkala




BAB IV
PENUTUP

A.            KESIMPULAN
1.        Gender merupakan peran sosial dimana peran pria dan wanita ditentukan  perbedaan fungsi,   perandan tanggung jawab pria dan wanita sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah atau diubah sesuai perubahan zaman. Gender berbeda dengan jenis kelamin.
2.          Ada beberapa bentuk ketidaadilan gender, yaitu: marginalisasi, sub ordinasi, pandangan sterotipe, kekerasan, dan beban kerja. Dalam kasus yang kami angkat, bentuk ketidakadilan gender-nya adalah pandangan sterotipe, yang mengakibatkan adanya pandangan bahwa penggunaan kontrasepsi merupakan tanggung jawab wanita.
3.             Gender dipengaruhi oleh budaya. Di Indonesia, budaya patriarkhi yang melekat menjadikan informasi yang dibawa istri sangat rawan ditolak oleh suami. Akhirnya, tingkat pengetahuan pria tentang alat kontrasepsi pun menjadi kurang.
4.         Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi pria untuk tidak melakukan KB secara langsung yaitu: faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat.
5.     Dalam kasus kami, upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender adalah meningkatkan partisipasi pria, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga keberhasilan program KB tidak hanya ditentukan oleh wanita.

B.            SARAN
Untuk tercapainya kesetaraan gender, mayarakat sebaiknya dapat lebih menerima dan terbuka dengan adanya gender. Ketidakadilan gender dapat dihilangkan apabila masyarakat memahami dan mawas diri dan mengubah perilaku kearah  responsive gender dalam setiap kegiatan. Dengan demikian, perlu adanya kesepakatan dalam hal pembagian peran, sehingga pria dan wanita dapat menjadi mitra yang setara dan seimbang dalam kehidupan di keluarga, masyarakat, dan pemerintah.



DAFTAR PUSTAKA

Anggreani, Mekar Dwi, Hartati, dan Ryan Hara Permana. 2007. “Peran Suami Dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi Yang Berwawasan Gender”, Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). Volume 2, No.2 : 73-81.
Azwar, Azrul. 2005.  Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia. Jakarta: Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat.

BBC. 2013. Pil Kontrasepsi Untuk Pria, dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2013/12/131202_iptek_menyimpan_sperma, di akses 7 Oktober 2014.

BKKBN. 1999.  Studi Gender Peningkatan Peran Pria Dalam Penggunaan Kontrasepsi di DIY, Kerjasama Fakultas Kedokteran Univ. Muhammadiyah-PUBIO BKKBN Jakarta.
BKKBN. 2005.  Peningkatan Partisipasi Pria dalam KB & KR. Jakarta.
Dila, Fadhilah. Partisipasi Pria Dalam Pelaksanaan Keluarga Berencana Khususnya Penggunaan Alat Kontrasepsi, dalam http://www.academia.edu/6051020/Partisipasi_pria_dalam_pelaksanaan_keluarga_berencana_khususnya_penggunaan_alat_kontrasepsi , di akses 7 Oktober 2014.
Endang. 2002.   Buku Sumber Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi, Gender, dan Pembangunan Kependudukan. Jakarta:BKKBN & UNFPA.
Evertsson, Marie. 2006.  “The reproduction of gender: housework and attitudes towards gender equality in the home among Swedish boys and girls”, The British Journal of Sociology . Volume 57 Issue 3: 415-436.
Fitria, Maya dan Avin Fadilla Helmi. 2011. “Keadilan Gender dan Hak-hak Reproduksi di Pesantren”, Jurnal Psikologi. Volume 38, No. 1 : 1–16.
Kompas. 2010. “KB Pria untuk Wujudkan Kesetaraan Gender”, 23 Desember 2010.


0 komentar:

Posting Komentar