KONSEP DASAR GENDER DALAM KESEHATAN REPRODUKSI
PAPER
Disusun
untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah
Dasar
Kesehatan Reproduksi
Oleh
:
Alphyyanto
Eko Sutrisno
|
G1B011079
|
Yuli
Avitasari Indriana
|
G1B012014
|
Setyaningrum
Adi Kusuma
|
G1B013041
|
Annisa
Nursalamah Laksono
|
G1B013075
|
JURUSAN
KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
Isu
ketidaksetaraan gender telah menjadi pembicaraan di berbagai negara sejak tahun
1979 dengan diselenggarakannya konferensi perserikatan bangsa-bangsa dengan
tema The Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women (CEDAW), yang membahas tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita.
Di
Indonesia secara normatif diskriminasi terhadap wanita telah dihapuskan
berdasarkan hasil CEDAW yang telah diratifikasi dengan Undang-Undangn Nomor 7
tahun 1984(2). Namun dalam kenyataannya masih tampak adanya nilai-nilai budaya
masyarakat yang bersifat diskriminatif, sehingga menghambat terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender termasuk dalam bidang kesehatan.
Permasalahan-permasalahan tersebut dapat dicermati dari analisis-analisis
terhadap kondisi dan posisi wanita yang kerap dirugikan pihak pria. Dalam paper
ini, kami mengangkat kasus rendahnya partisipasi pria dalam penggunaan KB
mewujudkan ketidakadilan gender.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
PENGERTIAN GENDER
Gender merupakan peran
sosial dimana peran pria dan wanita ditentukan perbedaan fungsi, perandan
tanggung jawab pria dan wanita sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat
berubah atau diubah sesuai perubahan zaman.Peran
dan kedudukan sesorang yang dikonstrusikan oleh masyarakatdan budayanya karena
sesorang lahir sebagai pria atau wanita(WHO 1998) .
Dikenal ada tiga jenis peran gendersebagai berikut. :
1. Peran produktif adalah peran yang
dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan
jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula
disebut dengan peran di sektor publik.
2. Peran reproduktif adalah peran yang
dijalankan oleh seseorang untuk kegiatann yang berkaitan dengan pemeliharaan
sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak,
memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan
rumah, dan lain-lain. Peran reproduktif ini disebut juga peran di sektor
domestik.
3. Peran sosial adalah peran yang
dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan, seperti gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan
yang menyangkut kepentingan bersama.
B.
PERBEDAAN
GENDER DAN JENIS KELAMIN
Menurut Badan Pemberdayaan
Masyarakat, perbedaan antara Gender dengan Kenis Kelamin adalah:
No.
|
Gender
|
Jenis Kelamin
|
1.
|
Dapat berubah, contohnya
peran dalam kegiatan sehari-hari, seperti banyak wanita jadi juru masak jika
dirumah, tetapi jika di restoran
|
Tidak dapat berubah,
contohnya alat kelamin pria dan wanita
|
2.
|
Dapat di pertukarkan
|
Tidak dapat
dipertukarkan, contohnya jakun pada pria dan payudara pada wanita
|
3.
|
Tergantung budaya dan
kebiasaa, contohnya di pulau jawa, pada jaman penjajahan belanda kaum wanita
tidak memperoleh hak pendidikan. Setelah Indonesia merdeka wanita mempunyai
kebiasaan mengikuti pendidikan
|
Berlaku sepanjang masa,
contohnya status pembagian pria atau perempaun
|
4.
|
Tergantung budaya
setempat, contohnya pembatasan kesempatan di bidang pekerjaan terhadap wanita
dikarenakan budaya setempat antara lain diutamakan untuk menjadi perewat,
guru TK, pengasuh anak.
|
Berlaku diman saja,
contohnya di rumah, dikantor dan dimanapun berada, seorang pria atau wanita
tetap pria dan wanita
|
5.
|
Bukan merupakan budaya
setempat, contohnya pengaturan jumlah anak dalam satu keluarga
|
Merupakan kodrat Tuhan,
contohnya pria mempunyai ciri-ciri utama yang berbeda dengan cirri-ciri utama
wanita, misalnya jakun dan vagiana
|
6.
|
Buatan manusia, contohnya
pria dan wanita berhak menjadi calon ketua RT,RW dan kepala desa bahkan
presiden.
|
Ciptaan Tuhan, contohnya wanita
bisa haid , hamil, melahirkan dan menyusui sedangkan pria tidak.
|
C.
BENTUK KETIDAK ADILAN GENDER
Ketidakadilan gender adalah
adanya perbedaan, pengecualian atau pembatasan yang di buat berdasarkan peran
dan norma gender yang dikonstruksi secara sosial yang mencegah seseorang
untuk menikmati HAM secara penuh.
Bentuk-bentuk
diskriminasi Gender adalah:
1. Marjinalisasi
Proses peminggiran atau
penyisihan yang mengakibatkan wanita dalam keterpurukan. Bermacam pekerjaan
membutuhkan keterampilan pria yang banyak memakai tenaga sehingga wanita
tersisihkan. Atau sebaliknya beberapa pekerjaan yang membutuhkan ketelitian,
ketekuanan sehingga peluang kerja bagi pria tidak ada. Contohnya: direktur
banyak oleh pria, baby sister adalah wanita.
2. Sub Ordinasi
Kedudukan salah satu
jenis kelamin di anggap lebih penting dari pada jenis kelamin sebaliknya.
Contohnya: persyaratan melanjutkan studi untuk istri harus ada izin suami,
dalam kepanitiaan wanita paling tinggi pada jabatan sekretaris.
3. Pandangan Stereotipe
Pandangan stereotype adalah
penandaan atau cap yang sering bermakna negatif. Contohnya: pekerjaan di rumah
seperti mencuci diidentikkan dengan pekerjaan wanita; pria sebagai pencari
nafkah yang utama, harus diperlakukan paling ismewah di dalam rumah tangga,
misalnya yang berkaitan dengan makan.
4. Kekerasan
Segala bentuk kekerasan
terhadap wanita yang akibatnya dapat berupa kerusakan/penderitaan fisik,
seksual atau psikis termasuk ancaman seperti pemaksaan/perampasan atas
kemerdekaan, baik di tempat umum, dalam rumah tangga maupun yang dilakukan oleh
negara. COntohnya: suami membakar dan memukul
istri, istri merendahkan martabat suami di hadapan masyarakat.
5. Beban Kerja
Beban kerja yang dilakukan
oleh jenis kelamin tertentu lebih banyak. Bagi wanita di rumah mempunyai beban
kerja lebih besar dari pada pria, 90% pekerjaan domestic/rumah dilakukan oleh wanita
belum lagi jika di jumlahkan dengan bekerja diluar rumah.
D. BUDAYA YANG BERPENGARUH TERHADAP GENDER
1. Sebagian besar masyarakat banyak di anut
kepercyaan yang salah tentang apa arti menjadi seorang wanita, dengan akibat
yang berbahaya bagi kesehatan wanita.
2. Setiap masyarakat mengharapkan pria dan wanita
untuk berpikir, berperasaan, dan bertindak dengan pola-pola tertentu, dengan
alasan hanya karena mereka dilahirkan sebagai wanita atau pria, contohnya wanita
diharapkan untuk menyipkan masakan, membawa air dan kayu bakar, merawat
anak-anak dan suami, sedangkan pria diharapkan untuk bekerja diluar rumah untuk
memberikan kesejahteraan bagi keluarga di masa tua dan untuk melindungi
keluaraga dari ancaman (bahaya).
3. Gender yang di hubungkan dengan jenis
kelaminnya tersebut, semuanya adalah hasil rekayasa masyarakat.
4. Kegiatan lain tidak sama dari satu daerah
kedaerah lain di seluruh dunia, tergantung pada kebiasaan, hokum dan agama yang
dianut oleh masyarakat tersebut.
5. Peran jenis kelamin bahkan tidak sama didalam
suatu masyarakat, tergantung pada tingkat pendidikan, suku dan umurnya.
6. Peran gender di ajarkan secara turun temurun
dari orang tua ke anak-anaknya. Sejak anak-anak berusia sangat muda, orang tua
tua memperlakukan anak wanita dan pria secara berbeda, meskipun kadang-kadang
tampa mereka sadari.
E.
ISU GENDER DALAM KESEHATAN REPRODUKSI
Isu gender adalah suatu
kondisi yang menunjukan kesenjangan pria dan wanita yaitu adanya kesenjangan
antara kondisi yang dicita-citakan (normative) dengan kondisi sebagaimana
adanya (objektif).
1. Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (Safe motherhood)
Hal-hal
yang sering dianggap sebagai isu gender sebagai berikut:
a. Ketidakmampuan wanita dalam mengambil keputusan dalam kaitannya
dengan kesehatan dirinya, misalnya dalam menentukan kapan hamil, dimana akan
melahirkan dan sebagainya. Hal ini berhubungan dengan wanita yang kedudukannya
yang lemah dan rendah di keluarga dan masyarakat.
b. Sikap dan perilaku keluarga yang cenderung
mengutamakan pria, contohnya dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari yang
menempatkan bapak atau pria pada posisi yang diutamakan dari pada ibu dan anak wanita.
Hal ini sangat merugikan kesehatan wanita, terutama bila sedang hamil.
2. Keluarga Berencana
Hal-hal
yang sering di anggap sebagai isu gender sebagai berikut:
a. Kesertaan
ber-KB, dari data SDKI tahun 1997 presentase kesertaan ber-KB, diketahui bahwa
98% akseptor KB adalah wanita.partisipasi pria hanya 1,3%. Ini nerarti bahwa
dalam program KB wanita selalu objek/target sasaran.
b. Wanita
tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan metode kontrasepsi yang diinginkan,
antara lain karena ketergantungan kepada keputusan suami (pria lebih dominan),
informasi yang kurang lengkap dari petugas kesehatan, penyediaan alat dan obat
kontrasepsi yang tidak memadai di tempat palayanan.
c. Pengambilan
keputusan partisipasi kaum pria dalam program KB sangat kecil dan kurang,
namun control terhadap wanita dalam hal memutuskan untuk ber-KB sangat dominan.
3. Kesehatan Reproduksi Remaja
Hal-hal
yang sering di anggap sebagai isu gender sebagai berikut:
a. Ketidak adilan dalam mengambil tanggung jawab
misalnya pada pergaulan yang terlalu bebas, remajaputeri selalu menjadi korban
dan menangguang segala akibatnya (misalnya kehamilan yang tidak dikehendaki,
putus sekolah, kekerasan terhadap wanita, dan sebagainya).
b. Ketidak-adilan dalam aspek hokum, misalnya
dalam tindakan aborsi illegal, yang diancam oleh sanksi dan hukuman adalah wanita
yang menginginkan tindakan aborsi tersebut, sedangkan pria yang
menyebabkan kehamilan tidak tersentuh oleh hukum.
4. Infeksi Menular Seksual
Hal
yang sering dianggap sebagai isu gender sebagai berikut:
a. Wanita selalu dijadikan objek intervensi
dalam program pemberantasan IMS, walaupun pria sebagai konsumen justru member
konstribusi yang cuku besar dalam permasalahan tersebut.
b. Setiap upaya mengurangi praktek
prostitusi,kaum wanita sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi objek dan
tudingan sumber permasalahan, sementara kaum pria yang mungkin menjadi sumber
penularan tidak pernah di intervensi dan dikoreksi.
c. Wanita (istri) tidak kuasa menawarkan kondom
jika suami terserang IMS.
BAB III
PEMBAHASAN
Perbedaan
wanita dan pria masih menyimpan beberapa masalah dalam masyarakat. Perbedaan
anatomi antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat
perbedaan tersebut menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis
kelamin secara biologis melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi
budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender.
Dalam
program KB nasional seharusnya penggunaan kontrasepsi merupakan tanggung jawab
bersama pria dan wanita sebagai pasangan, sehingga metode kontrasepsi yang
dipilih mencerminkan kebutuhan serta keinginan suami istri. Pasangan suami
istri harus saling mendukung dalam pemilihan dan penggunaan metode kontrasepsi karena kesehatan
reproduksi, khususnya keluarga berencana bukan hanya urusan pria atau wanita
saja.
Jenis kelamin pria dan wanita masing-masing mempunyai
keterbatasan reproduksi yang biasa disebut kodrat. Pria sebagai penghasil
sperma dan wanita sebagai tempat mengandungnya janin. Pandangan sterotipe ini telah membentuk pendapat bahwa sebenarnya wanita
dan pria mempunyai akses yang sama terhadap peluang terjadinya kehamilan.
Tetapi, pemikiran tersebut terus berkembang di masyarakat sehingga terdapat
ketimpangan hubungan gender yaitu wanita yang seharusnya memakai alat
kontrasepsi.
Dari segi budaya di Indonesia, masyarakat
mengikuti budaya patriarki atau
mengikuti garis keturunan ayah. Budaya patriarkhi yang melekat di masyarakat
menjadikan informasi yang dibawa istri sangat rawan ditolak oleh suami. Padahal
wanita sendiri dianggap kurang mampu meneruskan informasi, Sehingga sampai saat ini penyampaian
informasi tentang alat kontrasepsi dan keluarga berencana masih kurang efektif.
Akhirnya, tingkat pengetahuan pria
tentang alat kontrasepsi pun masih kurang. Tingginya dominasi suami dalam
pengambilan keputusan perencanaan jumlah dan jarak kelahiran anak juga ikut
mempengaruhi rendahnya kesertaan pria dalam ber-KB.
Hasil
Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukan kenaikan angka
partisipasi pria dalam mengikuti program KB hanya naik 0,2% per tahunnya.
Dilihat dari angka pencapaian peningkatan partisipasi pria pada tahun 1991
sebesar 0,8% (SDKI 1991). Pada tahun 2003 sebesar 1,3 % (SDKI 2002-2003), sedangkan pada tahun 2007 sebesar 1,5 % (SDKI
2007).
Jika dibandingkan dengan pencapaian angka partisipasi pria ber-KB di negaraberkembang
seperti di Pakistan sebanyak 5,2%; Bangladesh sebanyak 13,9%, Nepal
sebanyak 24%, Malaysia sebanyak 16,8% dan Jepang sebanyak 80% maka Indonesia masih
menjadi negara yang paling rendah tingkat partisipasi pria dalam ber-KB.
Ada
beberapa alasan yang menyebabkan mengapa partisipasi pria di Indonesia sangat
rendah. Diantaranya karena keterbatasan
pengetahuan suami tentang kesehatan reproduksi serta pandangan budaya di
Indonesia dimana peran pria lebih besar daripada wanita. Selain itu, pola pikir masyarakat bahwa
penggunaan alat kontrasepsi itu adalah urusan wanita. Alasan lain juga adalah
terbatasnya alat kontrasepsi untuk pria.
Sampai saat ini alat
kontrasepsi yang tersedia untuk pria hanyalah kondom dan vesektomi, atau dengan
kontrasepsi paling sederhana yaitu dengan cara menarik penis sebelum terjadinya
ejakulasi saat berhubungan badan dengan istri.
Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi pria untuk
tidak melakukan KB secara langsung yaitu:
1.
Faktor
predisposisi
Rendahnya partisipasi pria menjadi peserta KB
disebabkan karena terbatasnya macam dan jenis alat kontrasepsi pria serta
kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang hak-hak kesehatan reproduksi,
kurangnya komunikasi sejak dini banyak mempengaruhi sudut pandang yang
keliru tentang seks dan keperkasaan pria, banyak pria yang beranggapan bahwa
pemakaian alat kontrasepsi oleh pria akan mengganggu kenikmatan dalam hubungan seksual, anggapan yang salah
tentang peranan kaum pria dan kedudukan pria
dalam keluarga membuat pria jarang yang mau berkonsultasi mengenai masalah
reproduksi , seks, serta tingkah laku seksualnya. Adanya persepsi bahwa wanita
yang menjadi target program KB, kondisi sosial budaya masyarakat yang
patrilinial yang memungkinkan kaum wanita berada dalam sub ordinasi menyebabkan
pengambilan keputusan dalam KB didominasi oleh kaum pria dan kondisi budaya
juga menjadi salah satu kendala dalam meningkatkan peran serta para suami dalam
ber-KB, ada anggapan bahwa anak pria merupakan penerus marga, hingga
sebelum ada anak pria, keluarga akan terus “berproduksi”.
2.
Faktor
pemungkin
Partisipasi pria yang rendah dalam melaksanakan KB
dikarenakan aksesibilitas pria terhadap sarana pelayanan kontrasepsi
rendah, dimana Puskesmas hanya menyediakan pelayanan KIA yang umumnya melayani Ibu
dan Anak saja sehingga pria merasa enggan untuk konsultasi dan mendapat
pelayanan, demikian pula terbatasnya jumlah sarana pelayanan yang dapat
memenuhi kebutuhan pria. Selain itu ada beberapa keterjangkauan yang masih
terbatas yang dimaksudkan agar pria dapat memperoleh informasi yang memadai dan pelayanan KB yang
memuaskan masih rendah.
3.
Faktor
penguat
Faktor penguat adalah faktor yang menentukan apakah
tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak. Sumber penguat tentu saja
tergantung pada tujuan dan jenis program. Di dalam pendidikan pasien, penguat
mungkin berasal dari perawat, dokter, pasien lain, dan keluarga. Apakah penguat
ini positif ataukah negatif bergantung pada sikap dan perilaku orang lain yang
berkaitan, yang sebagian diantaranya lebih kuat daripada yang lain dalam
mempengaruhi perilaku.
Partisipasi
pria diperlukan dalam penerapan program KB khususnya dalam penggunaan alat
kontrasepsi, sehingga keberhasilan program KB tidak hanya ditentukan oleh wanita
tetapi jugaoleh pria sebagai anggota dalam sebuah keluarga yang berkewajiban
untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera.
Bentuk
partisipasi pria dalam keluarga berencana dibagi menjadi dua,yaitu secara
langsung maupun tidak langsung.
1.
Secara Langsung
Partisipasi pria secara langsung adalah pria
sebagai peserta dengan menggunakan salah satu cara atau metode
kontrasepsi, seperti dengan menggunakan alat kontrasepsi kondom, vasektomi,
metode senggama terputus, dan metode pantang berkala / sitem kalender.
2.
Tidak Langsung
Partisipasi pria secara tidak langsung adalah dengan
mendukung setiap kegiatan KB dan juga sebagai motivator sesuai
dengan pengetahuan tentang KB yang dimilikinya. Peran suami adalah mendukung
dan memberikan kebebasan kepada istri
untuk menggunakan kontrasepsi atau metode KB.
Dukungan tersebut meliputi:
a. Memilih kontrasepsi yang cocok yaitu kontrasepsi yang
sesuai dengan keinginan dan
kondisi istrinya
b. Membantu
istrinya dalam menggunakan kontrasepsi secara benar,seperti mengingatkan
saat minum pil KB, dan mengingatkan istri untuk kontrol
c. Membantu
mencari pertolongan bila terjadi efek samping maupunkomplikasi dari
pemakaian alat kontrasepsi
d. Mengantarkan
istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk kontrol atau rujukan
e.
Mencari
alternatif lain bila kontrasepsi yang digunakan tidak cocok
f.
Membantu menghitung waktu subur, apabila menggunakan metode pantang berkala
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Gender merupakan peran
sosial dimana peran pria dan wanita ditentukan perbedaan fungsi, perandan
tanggung jawab pria dan wanita sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat
berubah atau diubah sesuai perubahan zaman. Gender berbeda dengan
jenis kelamin.
2. Ada beberapa bentuk ketidaadilan gender, yaitu:
marginalisasi, sub ordinasi, pandangan sterotipe, kekerasan, dan beban kerja.
Dalam kasus yang kami angkat, bentuk ketidakadilan gender-nya adalah pandangan
sterotipe, yang mengakibatkan adanya pandangan bahwa penggunaan kontrasepsi merupakan tanggung
jawab wanita.
3.
Gender dipengaruhi oleh
budaya. Di Indonesia, budaya patriarkhi yang melekat menjadikan informasi yang dibawa istri
sangat rawan ditolak oleh suami. Akhirnya, tingkat
pengetahuan pria tentang alat kontrasepsi pun menjadi kurang.
4. Terdapat
3 faktor utama yang mempengaruhi pria untuk tidak melakukan KB secara langsung
yaitu: faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat.
5. Dalam
kasus kami, upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender adalah
meningkatkan partisipasi pria, baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga keberhasilan program KB tidak hanya ditentukan oleh wanita.
B.
SARAN
Untuk tercapainya kesetaraan
gender, mayarakat sebaiknya dapat lebih menerima dan terbuka dengan adanya
gender. Ketidakadilan gender dapat dihilangkan apabila masyarakat memahami dan
mawas diri dan mengubah perilaku kearah responsive gender dalam setiap kegiatan.
Dengan demikian, perlu adanya kesepakatan dalam hal pembagian peran, sehingga pria
dan wanita dapat menjadi mitra yang setara dan seimbang dalam kehidupan di
keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
DAFTAR
PUSTAKA
Anggreani, Mekar Dwi, Hartati, dan Ryan Hara
Permana. 2007. “Peran Suami Dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi Yang Berwawasan
Gender”, Jurnal Keperawatan Soedirman
(The Soedirman Journal of Nursing). Volume 2, No.2 : 73-81.
Azwar,
Azrul. 2005. Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia.
Jakarta: Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat.
BBC. 2013. Pil
Kontrasepsi Untuk Pria, dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2013/12/131202_iptek_menyimpan_sperma, di akses 7 Oktober 2014.
BKKBN. 1999. Studi Gender Peningkatan Peran Pria Dalam Penggunaan Kontrasepsi
di DIY, Kerjasama Fakultas Kedokteran Univ. Muhammadiyah-PUBIO BKKBN
Jakarta.
BKKBN. 2005. Peningkatan Partisipasi Pria dalam KB & KR.
Jakarta.
Dila,
Fadhilah. Partisipasi Pria Dalam Pelaksanaan Keluarga Berencana Khususnya
Penggunaan Alat Kontrasepsi, dalam http://www.academia.edu/6051020/Partisipasi_pria_dalam_pelaksanaan_keluarga_berencana_khususnya_penggunaan_alat_kontrasepsi , di akses 7 Oktober 2014.
Endang. 2002. Buku Sumber Keluarga Berencana,
Kesehatan Reproduksi, Gender, dan Pembangunan
Kependudukan. Jakarta:BKKBN
& UNFPA.
Evertsson, Marie. 2006. “The
reproduction of gender: housework and attitudes towards gender equality in the
home among Swedish boys and girls”, The British Journal of Sociology
. Volume 57 Issue 3:
415-436.
Fitria, Maya dan Avin Fadilla Helmi. 2011. “Keadilan Gender dan Hak-hak Reproduksi di
Pesantren”, Jurnal Psikologi. Volume
38, No. 1 : 1–16.
Kompas. 2010. “KB Pria
untuk Wujudkan Kesetaraan Gender”, 23 Desember 2010.
0 komentar:
Posting Komentar