Rabu, 19 November 2014

LAPORAN PRAKTIKUM
MATA KULIAH PARASITOLOGI



Disusun Oleh :
Setyaningrum Adi Kusuma
G1B013041




KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2014

PEMERIKSAAN TELUR CACING PARASIT PADA FESES
(METODE APUNG DENGAN DAN TANPA DISENTRIFUGASI SERTA METODE MODIFIKASI HARADA MORI)

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi manusia. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih tinggi prevalensinya, terutama di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih perlu ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu dapat di karenakan di daerah tropis khususnya Indonesia berada dalam posisi geografis dengan temperatur serta kelembaban yang cocok untuk berkembangnya cacing dengan baik (Kadarsan,2005).
Hasil survey di  beberapa tempat menunjukkan prevalensi antara 60%-90% pada anak usia sekolah dasar. Salah satu penyakit infeksi  yang masih banyak terjadi pada penduduk di Indonesia adalah yang disebabkan golongan Soil-Transmitted Helminth, yaitu golongan nematode usus  yang dalam penularannya atau dalam siklus hidupnya melalui media tanah. Cacing yang tergolong dalam Soil-Transmitted Helminth adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis serta cacing tambang yaitu Necator americanus dan  Ancylostoma duodenale (Siregar, 2006)
Dalam identifikasi infeksinya perlu adanya pemeriksaan, baik dalam keadaan cacing yang masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau protozoa usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja (Kadarsan,2005).
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan (Gandahusada, Pribadi dan Herry, 2000).

B.      Tujuan Praktikum
          Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.     Mengetahui pemeriksaan feses dengan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) serta metode modifikasi Harada Mori.
2.       Mengetahui adanya telur dan larva cacing parasit dalam sempel feses.
3.       Mendiagnosa infeksi cacing parasit dalam tubuh orang yang diperiksa fesesnya.      




BAB II
METODE

A.         Metode Pemeriksaan
Pada praktikum parasitologi ini, kelompok saya menggunakan sampel tinja dari siswa SDN 3 Grendeng, Purwokerto Utara. Mulanya, kelompok saya  mendatangi siswa di sekolah untuk mencari pasien (siswa yang akan diperiksa fesesnya),kemudian kelompok saya mendatangi orangtua/ wali siswa untuk meminta izin. Kelompok saya memberikan wadah untuk menampung feses pasien dengan harapan feses yang di masukan ke wadah dalam kondidi masih segar. Pengambilan wadah dilakukan pagi hari sebelum praktikum. Pada saat praktikum kelompok saya memeriksa telur cacing dengan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) dan memeriksa larva cacing dengan metode modifikasi Harada Mori. Untuk mengidentifikasi telur dan larva cacing yang ditemukan digunakan pedoman praktikum parasitologi, kemudian dibaca hasilnya dan dicatat di laporan sementara untuk dianalisis.
Metode pemeriksaan yang kelompok saya lakukan pada praktikum, yaitu:
1.           Metode Apung (Flotation method)
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil.
2.           Metode Harada Mori
Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus, Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknik ini memungkinkan telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan didalam air yang terdapat pada ujung kantong plastik.

B.       Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan metode apung dengan disentrifugasi, antara lain:
1.             Mikroskop
2.             Objek glass
3.             Cover glass
4.             Beker glass
5.             Lidi
6.             Penyaring teh
7.             Jarum ose
8.             Tabung sentrifugasi
9.             Sentrifugator
10.         10 gram tinja
11.         200 ml larutan NaCl jenuh (33%)

Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan metode apung tanpa disentrifugasi, antara lain:
1.             Mikroskop
2.             Objek glass
3.             Cover glass
4.             Beker glass
5.             Tabung Reaksi
6.             Rak tabung reaksi
7.             Lidi
8.             Penyaring teh
9.             Jarum Ose
10.         10 gram tinja
11.         200 ml larutan Nacl jenuh (33%)

Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan metode modifikasi Harada Mori, antara lain:
1.             Tabung reaksi
2.             Kantung plastik ukuran 30x200 mm
3.             Kertas saring ukuran 3x15 cm
4.             Lidi
5.             Pipet tetes
6.             Aquadest
7.             Tempat menggantung plastik
8.             Spidol

C.            Cara Kerja
1.             Metode apung dengan sentrifugasi
a.             200 ml NaCl jenuh (33%) di masukan ke dalam beker glass.
b.        10 gram feses sampel  diambil menggunakan lidi dan di masukan ke dalam larutan NaCl jenuh (33%) kemudian di aduk sehingga larut.
c.             Bila terdapat serat-serat selulosa disaring menggunakan penyaring teh.
d.             Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung sentrifugasi.
e.             Di masukkan kedalam sentrifugator selama 5 menit.
f.             Permukaan sampel pada tabung sentrifugasi diambil dengan menggunakan jarum ose dan di oleskan pada objek glass, kemudian di tutup dengan menggunakan cover glass.
g.             Diamati di bawah mikroskop.

2.             Metode apung tanpa sentrifugasi
a.             200 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan ke dalam beker glass.
b.       10 gram feses sampel diambil menggunakan lidi dan di masukan ke dalam larutan NaCl jenuh (33%) kemudian di aduk sehingga larut.
c.             Bila terdapat serat-serat selulosa disaring menggunakan penyaring teh.
d.         Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung reaksi sampai cembung pada permukaan tabung reaksi.
e.             Diamkan selama 5-10 menit kemudian ditutup dengan cover glass dan segera diangkat.
f.              Cover glass diletakkan di atas objek glass dengan cairan berada diantara objek glass dan cover glass.
g.             Diamati di bawah mikroskop.

3.             Metode modifikasi Harada Mori
a.             Tabung reaksi diisi akuades steril ±5 ml.
b.      Dengan menggunakan lidi, feses dioleskan pada kertas saring sampai mengisi sepertiga bagian tengahnya.
c.         Kertas saring dilipat membujur kemudian kertas saring di masukkan ke dalam tabung reaksi dengan ujung kertas menyentuh permukaan akuades dan tinja tidak sampai tercelup akuades.
d.             Kertas saring di masukkan ke dalam plastik yang sudah berisi akuades ±1 ml.
e.             Nama penderita, tanggal penamaan, dan kelompok pengamat ditulis kemudian ditempel di plastik.
f.               Plastik digantung dan disimpan selama 7 hari.
g.            Setelah 7 hari digantung,  plastik dimiringkan dan  digunting ujungnya kemudian air dalam plastik di tuang ke beaker glass.
h.            Air dalam beaker glass diambil menggunakan pipet tetes kemudian 1-3 tetes air diteteskan ke atas objek glass.
i.               Cover glass diletakkan di atas objek glass.
j.               Diamati di bawah mikroskop.


  
BAB III
HASIL

A.            Hasil 1
Pada pemeriksaan feses ini, sebelumnya telah diambil sampel feses dari anak kelas 3  SD Negeri 3  Grendeng, Purwokerto Utara, Banyumas dengan data tertera di bawah ini:
nama         :   Rizqi Pertama
umur          :  10 tahun
alamat       :   Jalan Bugenfil, Kel. Grendeng, Kec. Purwokerto Utara
Metode
Hasil Pengamatan
Nama Cacing
Telur (+/-)
Apung dengan sentrifugasi
Ascaris lumbricoides
-
Trichuris trichiura
-
Cacing tambang
-
Strongyloides stercoralis
-
Apung tanpa sentrifugasi
Ascaris lumbricoides
-
Trichuris trichiura
-
Cacing tambang
-
Strongyloides stercoralis
-
Dari percobaan yang kelompok saya lakukan dengan menggunakan metode apung seperti pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan menunjukkan hasil negatif.


B.            Hasil 2
Pada pemeriksaan feses ini, sebelumnya telah diambil sampel feses dari anak kelas 3  SD Negeri 3  Grendeng, Purwokerto Utara, Banyumas dengan data tertera di bawah ini:
nama         :  M. Irfan S.
umur          : 10 tahun
alamat       :  Jalan Bugenfil, Kel. Grendeng, Kec. Purwokerto Utara
Metode
Hasil Pengamatan
Nama Cacing
Telur (+/-)
Harada Mori
Trichuris trichiura
-
Cacing tambang
+
Strongyloides stercoralis
-
Dari percobaan yang kelompok saya lakukan dengan menggunakan metode Harada Mori seperti pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan menunjukkan hasil positif dengan ditemukanya larva pada pengamatan yang kami lakukan di bawah mikroskop, yang diduga sebagai  larva cacing tambang.



BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam praktikum  ini, kelompok saya  menggunakan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) dan metode modifikasi Harada Mori.
Kelebihan dan kekurangan masing-masing metode yang digunakan dalam praktikum, yaitu:
1.             Metode Apung Dengan Sentrifugasi
a.              Kelebihan
1)            Dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat.
2)         Kotoran feses yang melekat pada telur dapat terlepas dengan adanya proses sentrifugasi sehingga feses dapat terlihat jelas.
b.             Kekurangan
1)            Membutuhkan waktu yang lama.
2)            Membutuhkan ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi.
2.             Metode Apung Tanpa Sentrifugasi
a.              Kelebihan
1)            Dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat.
2)            Telur dapat terlihat jelas.
b.             Kekurangan
1)            Menggunakan banyak feses.
2)            Membutuhkan waktu yang lama.
3)            Membutuhkan ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi.
3.             Metode Modifikasi Harada Mori
a.              Kelebihan: Lebih mudah dilakukan karena hanya umtuk mengidentifikasi larva infektif mengingat bentuk larva jauh lebih besar di bandingkan dengan telur.
b.             Kekurangan
1)            Dilakukan hanya untuk identifikasi infeksi cacing tambang.
2)            Waktu yang dibutuhkan lama
3)            Memerlukan peralatan yang banyak.

Dilihat dari tabel hasil 1 di atas, pemeriksaan feses Rizqi menggunakan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) tidak ditemukan telur parasit dalam  praktikum ini. Berarti, Rizqi tidak terinfeksi parasit. Padahal jika diamati dari keadaan  tempat tinggal dan lingkungan sekitar, dapat dikatakan kurang sehat. Apalagi terdapat kadang kambing di samping tempat tinggalnya, yang biasanya kambing merupakan salah satu hospes perantara pada penularan parasit.
Hasil negatif pada metode apung yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh:
1.             Sampel atau feses diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi cacing parasit usus).
2.             Kurang ketelitian dan kecerobohan praktikan dalam melakukan praktikum.
3.             Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur cacing parasit.
4.             Praktikan belum terlalu mampu untuk menggunakan mikroskop.
5.             Pada saat diambil fesesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukkan telur pada feses.
6.        Kesalahan saat awal pengambilan feses, apakah diambil pada tempat pembuangan/kloset atau tidak langsung dari perianal, dan kemungkinan tercampur dengan urin.

Pada pengamatan feses ini, yang mungkin  ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides, telur Trichiuris trichiura, telur cacing tambang, dan larva rhabditiform Strongyloides stercoralis.
 Ascaris lumbricoides mempunyai 2 jenis telur, yaitu: telur yang sudah dibuahi (telur fertil) dan telur yang belum dibuahi (telur infertil). Telur yang sudah dibuahi memiliki ciri-ciri: oval, berdinding tebal, berwarna kekuning-kuningan diliputi lapisan albuminoid yang tidak rata, isinya embrio yang belum masak. Sedangkan telur yang belum dibuahi memiliki cirri-ciri: lonjong, lebih panjang, dinding biasanya lebih tipis berisi granula(Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi  parasit Ascaris lumbricoides.
Telur Trichuris trichiura berukuran 50x25 µ, berbentuk mirip tempayan kayu atau biji melon, berwarna cokelat, dan memiliki 2 kutub jernih yang menonjol (Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi  parasit Trichuris trichiura.
Morfologi telur antar cacing tambang sulit dibedakan. Telur cacing tambang berbentuk lonjong, dengan ukuran sekitar 64x40 µ. Telur tidak berwarna dan berdinding tipis yang tembus sinar. (Soedarto 2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi  parasit cacing tambang.
Telur cacing Strongyloides stercoralis berukuran 55 x 30 µ, berbentuk lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur diletakkan di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform, sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja. Larva rhabditiform mempunyai ukuran 200 – 250µ, memiliki esophagus dan bulbus esophagus yang mengisi ¼ bagian anterior (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi  parasit Strongyloides stercoralis

Dilihat dari tabel hasil 2 di atas, pemeriksaan feses Irfan menggunakan metode Harada Mori ditemukan larva parasit dalam  praktikum ini. Berarti, Irfan diduga terinfeksi parasit cacing tambang.
Menurut Shahid, dkk (2010), Harada Mori merupakan metode yang paling efektif untuk mendeteksi cacing tambang. Terbukti bahwa metode Harada Mori memiliki ketelitian lebih dibandingkan dengan metode pemeriksaan tinja yang lain dalam mendeteksi cacing tambang. Jika dilakukan dengan benar, metode ini sensitif, sederhana, ekonomis dan mudah dilakukan.
Manusia merupakan hospes satu-satunya bagi cacing tambang. Telur cacing tambang spesies Necator americanus dan Ancylostoma duodenale sulit dibedakan satu dengan yang lain, perbedaan hanya sedikit dalam hal ukurannya, yaitu Necator americanus berukuran 64 x 36 µ, sedangkan Ancylostoma duodenale berukuran 56 x 36 µ. Telur ini keluar bersama feses penderita, setelah 1-2 hari akan menetas menjadi larva rabditiform. Setelah mengalami pergantian kulit 2 kali, larva rabditiform berubah menjadi  larva filariform (Shahid dkk, 2010).
Larva filariform cacaing tambang adalah larva infektif untuk manusia. Larva ini  berukuran 500 – 700 µ, tidak mempunyai rongga mulut dan bulbus esophagus (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di atas terdapat pada pengamatan feses Irfan dengan metode harada mori sehingga Irfan diduga terinfeksi  parasit cacing tambang.
Hasil positif  pada metode Harada Mori yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh:
1.       Faktor pendidikan: tingkat pendidikan pasien yang masih rendah, sehingga pengertian terhadap kebersian dan kesehatan pribadi serta lingkungan sangatlah rendah, misalnya kebiasaan buang besar di sembarang tempat (di tanah), tidak menggunakan alas kaki dalam kegiatan sehari-hari di luar rumah dan sering sekali tidak mencuci tangan sebelum makan.
2.        Faktor sosio-ekonomi: keluarga pasien berpenghasilan rendah, sehingga menyebabkan ketidakmampuan untuk menyediakan sanitasi perorangan maupun lingkungan.
                             (Hairani dan Annida, 2012)

Gejala infeksi cacing tambang dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Pada saat larva menembus kulit terbentuk maculopapula dan erithema yang sering disertai rasa gatal (ground itch). Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis. Cacing dewasa yang melekat dan melukai mukosa usus akan menimbulkan perasaan tidak enak di perut, mual dan diare. Seekor cacing dewasa mengisap darah 0,2 – 0,3 ml/hari, sehinnga dapat menimbulkan anemia progresif, hypokromik, mikrositer, type efisiensi besi. Biasanya gejala klinik timbul setelah tampak adanya anemi, pada infeksi berat, haemoglobin dapat turun hingga 2 gr %, sesak nafas, lemah dan pusing kepala. Kelemahan jantung dapat terjadi karena perubahan pada jantung yang berupa hypertropi, bising katub serta nadi cepat. Infeksi pada anak dapat menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih  berat dari pada infeksi oleh Necator americanus (Shahid dkk, 2010).
Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi infeksi cacing secara tuntas, maka upaya pencegahan dan terapi merupakan usaha yang sangat bijaksana dalam memutus siklus penyebaran infeksinya. Pemberian obat anti cacing secara berkala setiap 6 bulan dapat pula dikerjakan. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan serta sumber bahan pangan adalah merupakan sebagian dari usaha pencegahan untuk menghindari dari infeksi cacing. Memasyarakatkan cara-cara hidup sehat, terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana usia ini merupakan usia yang sangat peka untuk menanamkan dan memperkenalakan kebiasaan-kebiasaan baru yaitu kebiasaan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala seperti:
1.       Membudayakan kebiasaan dan perilaku pada diri sendiri, anak dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum makan.
2.             Memakai alas kaki jika menginjak tanah.
3.             Menggunting dan membersihkan kuku secara teratur.
4.             Tidak buang air besar sembarangan dan cuci tangan saat membasuh.
5.             Bercocok tanam atau berkebun dengan baik.
6.             Peduli dengan lingkungan.
7.             Mencucilah sayur dengan baik sebelum diolah.
8.        Berhati-hati saat makan makanan mentah atau setengah matang, terutama di daerah yang sanitasinya buruk.
9.             Membuang kotoran hewan peliharaan kesayangan pada tempat pembuangan khusus.
10.     Melakukan pencegahan dengan meminum obat anti cacing setiap 6 bulan, terutama bagi yang risiko tinggi terkena infestasi cacing, seperti petani, anak-anak yang sering bermain pasir, pekerja kebun, dan pekerja tambang (orang-orang yang terlalu sering berhubungan dengan tanah.
11.    Jika penyakit kecacingan ini sudah menjangkit sebaiknya dilakukan pengobatan dengan cara penanganan untuk mengatasi infeksi cacing dengan obat-obatan merupakan pilihan yang dianjurkan. Obat anti cacing golongan pirantel pamoat (combantrin dan lain-lain) merupakan anti cacing yang efektif untuk mengatasi sebagian besar infeksi yang disebabkan parasit cacing. Intervensi berupa pemberian obat cacing (obat pirantel pamoat 10 mg/ kg BB dan albendazole 10 mg/kg BB) dosis tunggal diberikan tiap 6 bulan pada anak untuk mengurangi angka kejadian infeksi ini pada suatu daerah. Paduan yang serasi antara upaya prevensi dan terapi akan memberikan tingkat keberhasilan yang memuaskan, sehingga infeksi cacing secara perlahan dapat diatasi secara maksimal, tuntas dan paripurna.
(Athiroh, 2005)

  

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat saya simpulkan sebagai berikut:
1.        Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) adalah negatif, yang artinya bahwa tidak ditemukan telur dalam feses yang telah di periksa sehingga diduga pasien tidak terinfeksi cacing.
2.           Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode Harada mori adalah positif, yang artinya bahwa ditemukan  larva dalam  tinja yang telah di periksa sehingga pasien diduga terinfeksi cacing tambang.
3.         Bentuk telur, larva, atau cacing parasit berbeda-beda, masing-masing memiliki morfologi yang khas yang membedakan cacing yang satu dengan yang lain.



DAFTAR PUSTAKA

Athiroh, N. 2005. Petunjuk Praktikum Parasitologi. Malang: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Islam Malang.
Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Jakarta.
Hairani, Budi dan Annida. 2012. “Insidensi Parasit Pencernaan pada Anak Sekolah Dasar di Perkotaan dan Pedesaan di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang, Volume 4(2): 102-108.
Kadarsan,S. 2005. Binatang Parasit. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Palgunadi, Bagus Uda. 2010. “Faktor-Faktor Yang Mempengruhi Kejadian Kecacingan Yang Disebabkan Oleh Soil-Transmitted Helminth Di Indonesia”, Jurnal, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Shahid, dkk. 2010. ”Identicifation of Hookworm Species in Stool By Harada Mori Culture”, Bangladesh J Med Microbiol, Volume 04(02): 03-04.
Siregar, Charles D. 2006. “Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar”. Sari Pediatri, Volume 8(2): 112-117
Soedarto, 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: CV Agung Seto.


0 komentar:

Posting Komentar